1. Latar Belakang
Ki Hadjar Dewantara mempunyai nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Karenanya, tak sedikit yang memanggil beliau dengan nama Soewardi. Beliau merupakan seorang anak keturunan bangsawan Jawa keluarga Kadipaten Pakualaman. Ki Hajar Dewantara merupakan merupakan putra dari GPH Soerjaningrat dan cucu dari Paku Alam III.
Terlahir sebagai pria berdarah biru dengan gelar bangsawan dari Kadipaten Paku Alaman, Ki Hajar Dewantara lebih memilih keluar dari istana untuk berbaur dengan rakyat jelata. Di usia 40 tahun, pria bernama lengkap Raden Mas Soewardi Soerjaningrat itu mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara dan tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan.
Ki Hajar Dewantara lahir di Pakualaman, Hindia Belanda, 2 Mei 1889. Terlahir dalam keluarga bangsawan dengan berbagai hak istimewa, Ki Hajar Dewantara mendapatkan akses pendidikan Belanda yang saat itu sangat terbatas.
Ki Hajar Dewantara mengenyam Pendidikan Europeesche Lagere School (ELS). ELS merupakan sekolah dasar yang didirikan Belanda. Sekolah ini dikhususkan untuk anak-anak dari Eropa dan para keturunan bangsawan.
Setelah itu, beliau melanjutkan pendidikan ke School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen (STOVIA), sebuah sekolah Kedokteran di Jawa. Namun, Ki Hajar Dewantara tak menyelesaikan pendidikannya di STOVIA karena alasan kesehatan.
Selain di dua sekolah tersebut, Ki Hajar Dewantara juga diketahui sempat menempuh pendidikan di Kweek School yang merupakan sebuah Sekolah Guru di Yogyakarta.
Ki Hajar Dewantara menamatkan pendidikan dasarnya di ELS, sekolah dasar Eropa atau Belanda khusus untuk kaum bangsawan. Ia pernah melanjutkan pendidikan ke STOVIA, sekolah dokter Bumiputera, namun tidak tamat. Selama mengenyam pendidikan, beliau gemar membaca buku. Ia sangat menyukai membaca buku-buku sastra, politik dan ekonomi. Pengetahuannya dan pemikirannya menjadi luas dan terbuka dengan dunia luar karena sering mendapatkan berbagai informasi. Kegemarannya itulah membuat ia tertarik menjadi wartawan. Tercatat ia pernah menjadi wartawan di sejumlah surat kabar, yaitu Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.
Karena hobi membacanya ini, Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai wartawan andal dengan tulisan-tulisan kritis dan penuh kritikan. Salah satu tulisan pedas Ki Hajar Dewantara yaitu “Seandainya Aku Seorang Belanda” yang dimuat di harian De Express pada 13 Juli 1913. Tulisannya itu pun berhasil membuat pejabat Hindia Belanda kepanasan yang akhirnya ia dihukum dan diasingkan ke Belanda pada 1913.
Ki Hajar Dewantara lahir di keluarga ningrat yang membuatnya lekat dengan kebudayaan. Sejak kecil, ia gemar dan menguasai beragam kesenian tradisional Jawa seperti seni tari, musik dan sastra. Menurutnya, budaya merupakan ujung tombak dan hal terpenting dalam pendidikan. Tak heran jika budaya menjadi hal utama yang selalu ia bawa dan tanamkan dalam pendidikan serta kehidupan sehari-hari.
Di sela-sela aktivitasnya sebagai wartawan dan aktivis, ia kerap memperkenalkan tari-tarian serta tembang Jawa tradisional kepada anak-anak muda Indonesia. Kecintaannya pada seni bisa terlihat dalam ornamen dalam rumahnya yang kini sudah menjadi Museum Dewantara Kirti Griya. Dalam museum, lukisan karya Affandi terpajang di dinding kamar sang anak. Tak hanya pintar menulis, Ki Hajar Dewantara juga jago main alat musik piano.
Karena kecintaan dengan budaya, ia jago bermain alat music piano yang dibuktikan dengan adanya sebuah piano klasik mewah miliknya yang hingga kini tertampang rapi di Museum Dewantara Kirti Griya. Menurut salah seorang penjaga Museum tersebut, piano klasik berwarna coklat yang dipajang di Museum Dewantara Kirti Griya tersebut berasal dari Jerman. Ki Hajar Dewantara senang bermain piano di waktu luangnya sebagai wartawan dan aktivis. Kegiatan ini ia lakukan sebagai pelepas penat sekaligus untuk menghibur sang istri dan anak-anaknya.
2. Masa Muda dan Pergerakan
Walaupun terlahir dari keluarga bangsawan, Ki Hajar Dewantara tetap memilih untuk menghabiskan masa muda dengan berjuang bersama rakyat. Di sepanjang hidupnya, Ki Hajar Dewantara berjuang melalui berbagai perjuangan dan pergerakan. Ki Hajar Dewantara yang gagal jadi dokter, kemudian menjadi seorang jurnalis.|
Lewat profesinya itu, Ki Hajar Dewantara menuangkan berbagai gagasan kritisnya yang mengkritik pemerintahan Belanda. Tak hanya kritis, tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara juga dikenal komunikatif dan persuasif. Ki Hajar Dewantara menulis untuk berbagai surat kabar dan majalah, seperti Sediotomo, de Express, Oetoesan Hindia, Midden Java, Tjahaja Timoer, Kaoem Moeda, dan Poesara.
Selain lewat tulisan, Ki Hajar Dewantara juga aktif melakukan beberapa pergerakan. Ki Hajar Dewantara aktif di organisasi Boedi Oetomo yang mulai berdiri pada 1908. Saat itu, Ki Hajar Dewantara menjadi seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia.
Tak sampai di situ, Ki Hajar Dewantara juga menjadi anggota organisasi Insulinde yang multietnik. Organisasi ini bergerak memperjuangkan pemerintahan yang mandiri untuk Hindia Belanda. Organisasi ini juga jadi cikal bakal Ki Hajar Dewantara menjadi tiga serangkai bersama E.F.E Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Tiga serangkai tersebut kemudian membentuk organisasi Indische Partij.
3. Masa Pengasingan
Karena salah satu tulisan kritiknya terhadap pemerintahan Belanda, Ki Hajar Dewantara sempat harus menjalani pengasingan. Pangkal dari pengasingan tersebut adalah tulisan beliau yang berjudul Als ik een Nederlander was atau Andai Aku Seorang Belanda. Tulisan itu dimuat di surat kabar De Expres pimpinan DD, 13 Juli 1913.
Di tulisan itu, Ki Hajar Dewantara mengkritisi sikap Belanda yang memungut dana ke rakyat Indonesia untuk merayakan kemerdekaan Belanda. Tulisan kritik tajam itu membuat Ki Hajar Dewantara diburu pemerintah Belanda. Setelah tertangkap, Ki Hajar Dewantara kemudian diasingkan ke Pulau Bangka.
Pengasingan Ki Hajar Dewantara jelas ditentang, khususnya oleh dua rekannya di Tiga Serangkai yaitu E.F.E Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Pertentangan itu akhirnya berakibat, Tiga Serangkai diasingkan bersama-sama ke Belanda.
Tak pernah kapok, meski dalam pengasingan di Belanda Ki Hajar Dewantara justru semakin bersemangat untuk memajukan pendidikan kaum pribumi. Ki Hajar Dewantara kembali bersekolah dan meraih ijazah Europeesche. Ki Hajar Dewantara pun kemudian mendirikan Kantor berita Indonesia (Indonesisch Pres Bureau) di Belanda pada tahun 1913.
Ki Hajar Dewantara juga bergabung di sejumlah organisasi para pelajar asal Indonesia dan mengajak mereka kembali ke Tanah Air untuk memajukan pendidikan. Kembali dari pengasingan, Ki Hajar Dewantara makin berani untuk melawan pemerintahan Belanda melalui tulisan kritisnya. Selama berjuang memajukan pendidikan, ia kerap kali keluar masuk penjara. Baju tahanannya kini dipajang di Museum Dewantara Kirti Griya Yogyakarta.
Berawal dari keprihatinan terhadap kondisi pendidikan di Indonesia, Ki Hadjar Dewantara akhirnya mulai berfikir untuk mengembangkan pendidikan yang layak bagi bumiputra. Ki Hajar Dewantara mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada 3 Juli 1922, yaitu Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa.
Organisasi Budi Utomo berdiri pada tanggal 20 Mei 1908, sebagai organisasi sosial dan politik. Setelah organisasi Budi Utomo berdiri, kemudian ia tergabung di dalamnya. Di organisasi ini, ia berperan sebagai propaganda dalam menyadarkan masyarakat pribumi tentang pentingnya semangat kebersamaan dan persatuan sebagai bangsa Indonesia. Pada tahun 1912 Ki Hajar Dewantara diajak oleh Douwes Dekker ke Bandung untuk mengasuh Suratkabar Harian “De Express”. Douwess Dekker kemudian mengajak untuk mendirikan organisasi yang bernama Indische Partij yang terkenal, yaitu partai politik pertama yang berani mencantumkan tujuan ke arah “Indonesia Merdeka”.
Selanjutnya pada Juli 1913 Ki Hajar Dewantara bersama dr. Cipto Mangunkusumo di Bandung, mendirikan “Comite Tot Herdenking van Nederlandsch Honderdjarige Vrijheid”, dalam bahasa Indonesia disingkat Komite Bumi Putera, yakni Panitia untuk memperingati 100 tahun Kemerdekaan Belanda. Komite tersebut bertujuan untuk memprotes akan adanya peringatan 100 tahun Kemerdekaan Belanda, dari penjajahan Perancis yang diadakan pada 15 Nopember 1913.
Pada tahun 1959, Ki Hajar Dewantara dianugerahi gelar Bapak Pendidikan Indonesia karena jasa-jasanya yang telah memperjuangkan pendidikan di Indonesia. Maka tak heran jika setiap tanggal 2 Mei dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional karena ingin merayakan dan memperingati hari lahirnya “Sang Bapak Pendidikan Indonesia”.
Pada masa Orde Baru, ada beberapa pihak yang merasa keberatan dengan perayaan tersebut. Presidium Pusat KAGI dan PB PGRI menolak perayaan itu. Mereka berpendapat bahwa Ki Hajar Dewantara bukanlah satu-satunya tokoh pendidikan nasional di Indonesia. Masih ada tokoh lain yang mempunyai andil dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Pada kabinet pertama Republik Indonesia, Ki Hajar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia pertama. Pada tahun 1957, ia pun mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari Universitas Gadjah Mada.
4. Pandangan Pendidikan dan Taman Siswa
Dalam pengasingan, semangat Ki Hajar Dewantara untuk memajukan pendidikan Indonesia tidak padam. Di Belanda, mata Ki Hajar Dewantara semakin terbuka bahwa pendidikan sangat penting untuk kemajuan bangsa. Ki Hajar Dewantara kemudian aktif tergabung dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).
Ki Hajar Dewantara kemudian memperdalam pengetahuannya mengenai pendidikan. Ki Hajar Dewantara berhasil mendapatkan ijazah Europeesche Akta. Ki Hajar Dewantara juga banyak belajar dari tokoh pendidikan dunia.
Ki Hajar Dewantara kembali ke Indonesia pada 1919. Sejak saat itu, Ki Hajar Dewantara bertekad memajukan pendidikan Indonesia. Beliau langsung mempraktikkan apa yang didapat di Belanda dengan mengembangkan berbagai konsep pendidikan.
Tak lama setelah kembali ke Tanah Air, Ki Hajar Dewantara juga mendirikan Taman Siswa. Di saat itu pula, Ki Hajar Dewantara memperkenalkan konsep pendidikan yang dia gagas yang kini dikenal sebagai sebuah semboyan:
1. Ing ngarsa sung tuladha (Di depan memberi contoh)
2. Ing madya mangun karsa (Di tengah memberi semangat)
3. Tut wuri handayani (Di belakang memberi dorongan")
5. Tutup Usia dengan Gelar Pahlawan dan Bapak Pendidikan
Ki Hajar Dewantara tutup usia di Yogyakarta pada 26 April 1959. Di tahun yang sama, tepatnya pada 28 Desember 1959, Presiden Soekarno mengukuhkan Ki Hajar Dewantara sebagai pahlawan Nasional.
Karena tekadnya dalam memajukan dunia pendidikan, Ki Hajar Dewantara mendapatkan sebutan Bapak Pendidikan Indonesia. Julukan tersebut ditetapkan langsung oleh Presiden Soekarno pada tahun 1959. Kini tanggal lahir beliau yaitu 2 Mei diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional.
Itulah di antaranya sekilas tentang biografi Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia. Semoga bermanfaat dan bisa menambah wawasan!
“Apapun yang kamu lakukan, hendaknya memberi manfaat bagi semua, bagi dirimu, bangsamu, dan alam sekitarmu”;
“Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah”
“Dengan Ilmu Kita Menuju Kemuliaan”
“Percaya, tegas, penuh ilmu hingga matang jiwanya, serta percaya diri, tidak mudah takut, tabah menghadapi rintangan apapun”
SELAMAT HARI PENDIDIKAN, TERUS MAJU PENDIDIKAN INDONESIA..!!!
** berbagai sumber