Hari Guru Nasional - 25 November 2021 - Sejarah PGRI dan Perkembangannya di Indonesia dari Masa ke Masa
Jika membicarakan mengenai Hari Guru Nasional yang
diperingati setiap tanggal 25 November, pasti tidak akan lepas dari sejarah
PGRI dan perkembangannya di Indonesia.
Cikal bakal lahirnya PGRI (Persatuan Guru Republik
Indonesia) sebenarnya bukan dimulai saat itu, melainkan sudah jauh sebelum
Indonesia mencapai kemerdekaannya pada Agustus 1945.
Melansir dari buku Perjalanan PGRI (1945 – 2003), Pengurus Besar PGRI dan Direktorat Tenaga Kependidikan Ditjen Dikdasmen, Departemen Pendidikan Nasional RI, 2003, organisasi perjuangan guru-guru pribumi pada zaman Belanda sudah berdiri di tahun 1912 dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB).
Sejarah PGRI dan Perkembangannya dari Masa ke Masa
Persatuan Guru Hindia Belanda adalah cikal bakal lahirnya PGRI di Indonesia. PGHB bersifat unitaristik yang anggotanya terdiri dari para–Guru Bantu, Guru Desa, Kepala Sekolah, dan Penilik Sekolah yang memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda-beda dan umumnya bertugas di Sekolah Desa dan Sekolah Rakyat Angka Dua pada masa itu.
Selain PGHB, saat itu mulai berkembang pula organisasi guru baru antara lain Persatuan Guru Bantu (PGB), Perserikatan Guru Desa (PGD), Persatuan Guru Ambachtsschool (PGAS), Perserikatan Normaalschool (PNS), Hogere Kweekschool Bond (HKSB), disamping organisasi guru yang bercorak keagamaan, kebangsaan atau lainnya seperti Christelijke Onderwijs Vereneging (COV), Katolieke Onderwijsbond (KOB), Vereneging Van Muloleerkrachten (VVM), dan Nederlands Indische Onderwijs Genootschap (NIOG) yang beranggotakan semua guru tanpa membedakan golongan agama
Kesadaran kebangsaan dan semangat perjuangan yang sejak lama tumbuh mendorong para guru pribumi memperjuangkan persamaan hak dan posisi terhadap pihak Belanda. Hasilnya antara lain adalah kepala HIS yang dulu selalu dijabat oleh orang Belanda, satu per satu pindah ke tangan orang Indonesia. Semangat perjuangan ini makin berkobar dan memuncak pada kesadaran dan cita-cita kemerdekaan. Perjuangan guru tidak lagi perjuangan perbaikan nasib, tidak lagi perjuangan kesamaan hak dan posisi dengan Belanda, tetapi telah memuncak menjadi perjuangan nasional dengan teriak “merdeka”.
Pada tahun 1932, Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) diubah namanya menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Perubahan ini ternyata mengejutkan pemerintah Belanda, karena kata “Indonesia” yang mencerminkan semangat kebangsaan sangat tidak disenangi oleh Belanda. Sebaliknya kata “Indonesia” ini sangat didambakan oleh guru dan bangsa Indonesia.
Pada zaman pendudukan Jepang segala organisasi dilarang, sekolah ditutup, Persatuan Guru Indonesia (PGI) sempat tidak dapat lagi melakukan aktivitas.
Namun, setelah peristiwa sejarah proklamasi 17 Agustus 1945, dengan penuh semangat terwujudlah penyelenggaraan Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24-25 November 1945 di Surakarta. Melalui kongres ini segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama dan suku, sepakat dihapuskan. Pada kongres inilah, tanggal 25 November 1945—seratus hari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia—Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) didirikan.
Dengan semangat pekik “merdeka” bertalu-talu, di tengah bau mesiu pengeboman oleh tentara Inggris atas studio RRI Surakarta, mereka serentak bersatu untuk mengisi kemerdekaan dengan tiga tujuan:
1.
Mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia.
2. Mempertinggi
tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan.
3. Membela hak
dan nasib buruh umumnya, guru pada khususnya.
Sejak kongres guru Indonesia itu, semua guru Indonesia menyatakan dirinya bersatu didalam wadah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Dan sebagai penghormatan kepada guru, pemerintah Republik Indoensia dengan keputusan Presiden Nomor 78 tahun 1994, menetapkan hari lahir PGRI tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional, dan diperingati setiap tahun.
Hubungan antara PGRI dengan organisasi guru luar negeri dirintis kembali pada Bulan Juli 1966, PGRI diterima menjadi anggota WCOTP dalam kongres guru se dunia di Seoul Korea Selatan. Hal ini merupakan era baru dalam kehidupan PGRI sementara itu pelaksanaan Asean Regional Konferensi (ATP WCOTP) di Jakarta pada bulan April 1969, menandai untuk pertama kalinya PGRI menjadi tuan rumah konferensi internasional organisasi guru.
Di masa awal reformasi pasca 1998, PGRI menghadapi tantangan dalam lingkup global, nasional, dan organisasional. Tantangan global ditandai dengan berbagai perubahan yang berlangsung cepat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Lingkungan yang sedang berubah secara global memerlukan pola kerja dalam bentuk kerja tim; memerlukan sumber daya manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Memasuki abad ke-21 yang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi di segala bidang, terjadi perubahan cara dan banyak inovasi bermunculan. Secara struktural dan fungsional, perjuangan PGRI mulai bergerak ke arah profesi yang modern dengan mentransformasi PGRI menjadi kekuatan moral intelektual dengan tidak meninggalkan elan perjuangan sebagai organisasi perjuangan dan ketenagakerjaan. Modernisasi organisasi sesuai kebutuhan dilakukan antara lain dengan membentuk alat perangkat kelengkapan organisasi sesuai kebutuhan seperti PGRI Smart Learning and Character Center (PGRI SLCC), Lembaga Kajian Kebijakan Pendidikan, dan kini tengah menggagas Pusat Pengembangan Profesi Pendidik.
Saat ini, seiring dengan gigihnya perjuangan menurut sejarah
PGRI, organisasi ini terus memperkuat jati dirinya sebagai organisasi profesi
yang modern dan dapat merespon kebutuhan berdasarkan zamannya.
*artikel dirangkum dari berbagai sumber